LEMBARAN – NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 73, 1957.

 PROPINSI ACEH PENGADILAN AGAMA MAHKAMAH SYAR‘IYAH

 

Peraturan Pemerintah N. 29 tahun 1957, tentang menetapkan peraturan tentang Pengadilan Agama di Propinsi Aceh (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara No. 1358).

 

PERATURAN PEMERINTAH NO. 29 TAHUN 1957

TENTANG

PEMBENTUKAN PENGADILAN AGAMA/MAHKAMAH

SYARIYAH DI PROPINSI ACEH

 

Presiden Republik Indonesia,

 

Menimbang :

a. bahwa di daerah Aceh, atas anjuran Gubernur Propinsi Sumatera/Wakil Pemerintah Pusat untuk Sumatera dengan kawatnya tanggal 13 Januari 1947 Nomor 189 dan kawat Jawatan Agama Propinsi Sumatera tanggal 22 Februari 1947 No. 226/3/Japs dan No. 896/3/Japs telah dibentuk Mahkamah Syariyah yang mengadili perkara-perkara yang bertalian dengan Agama Islam,

b. bahwa hak kekuasaan Mahkamah Syariyah itu telah ditetapkan dengan keputusan Badan Pekerja dari Dewan Perwakilan Aceh tanggal 3 Desember 1947 Nomor 35,

c. bahwa untuk memberi dasar hukum kepada Mahkamah Syariyah tersebut, berdasarkan atas Pasal 1 ayat (4) Undang-undang Darurat No. 1 tahun 1951, perlu diadakan Peraturan Pemerintah,

 

Mengingat :

Pasal 98 Undang-undang Dasar Sementara dan Pasal 1 ayat (4) Undang-undang Darurat Nomor 1 tahun 1951 .

 

Mendengar :

Dewan Menteri dalam rapatnya pada tanggal 24 Juli 1957.

 

MEMUTUSKAN

 

Dengan menghapuskan segala peraturan yang bertentangan dengan peraturan ini, menetapkan,

 

PERATURAN TENTANG PENGADILAN AGAMA DI PROPINSI ACEH SEBAGAI BERIKUT:

 

Pasal 1

 

Di tempat-tempat yang ada Pengadilan Negeri di Propinsi Aceh ada sebuah Pengadilan Agama, yang daerah hukumnya sama dengan daerah hukum Pengadilan Negeri.

 

 

Pasal 2

 

Pengadilan Agama terdiri dari seorang Ketua dan sekurang-kurangnya dua orang anggota dan sebanyak-banyaknya delapan orang anggota yang diangkat dan diberhentikan oleh Menteri Agama.

 

 

Pasal 3

 

Formasi, uang sidang dan ongkos perkara Pengadilan Agama ditetapkan oleh Menteri Agama.

 

 

Pasal 4

 

(1) Pengadilan Agama memeriksa dan memutuskan perselisihan antara suami isteri yang beragama Islam dan segala perkara yang menurut hukum yang hidup diputus menurut Agama Islam yang berkenaan dengan nikah, talaq rujuk, fasach, hadhanah, perkara waris-malwaris, waqaf, hibah, sadaqah, baitalmal dan lain-lain yang berhubungan dengan itu, demikian juga memutuskan perkara perceraian dan mengesahkan bahwa syarat taklik sudah berlaku.

(2) Pengadilan Agama tidak berhak memeriksa perkara-perkara yang tersebut dalam ayat (1), kalau untuk perkara itu berlaku lain daripada hukum Syara‘ Islam.

(3) Apabila orang tidak hendak melakukan keputusan yang dijatuhkan oleh Pengadilan Agama atau oleh Pengadilan Agama Propinsi ataupun tidak hendak membayar ongkos perkara yang tersebut dalam keputusan itu, yang berkepentingan dapat menyerahkan salinan keputusan itu kepada Ketua Pengadilan Negeri di tempat Pengadilan Agama itu.

(4) Setelah ternyata kepadanya, bahwa keputusan itu tidak ada halangan lagi dijalankan, Ketua Pengadilan Negeri menerangkan bahwa, keputusan itu sudah dapat dijalankan. Keterangan itu dibuatnya di sebelah atas salinan surat keputusan itu, dibubuhi hari, bulan, tahun serta tanda-tangan.

(5) Sesudah itu, keputusan dapat dijalankan menurut aturan-aturan menjalankan keputusan sipil Pengadilan Negeri.

 

 

Pasal 5

 

(1) Barangsiapa yang hendak memajukan perkaranya pada Pengadilan Agama membayar biaya perkara yang jumlahnya ditetapkan oleh Menteri Agama.

(2) Perkaranya tidak diperiksa apabila biaya-biaya perkaranya itu belum dipenuhi.

(3) Mereka yang tidak mampu, atas keterangan dari Kepala Desa/Mukimnya yang dikuatkan oleh Camat, dibebaskan dari pembayaran biaya tersebut.

(4) Biaya perkara itu pada tiap-tiap akhir bulan disetorkan oleh Panitera Pengadilan Agama kepada Kas Negeri (Kantor Pos) yang terdekat.

 

 

Pasal 6

 

Pengadilan Agama tidak boleh mengambil keputusan, kalau kurang dari tiga orang yang hadir, terhitung ketuanya. Apabila terjadi suara perimbangan maka suara Ketua-lah yang memutuskan.

 

 

Pasal 7

 

Keputusan Pengadilan Agama harus ditulis dengan diterangkan sebab-sebabnya dengan pendek, dibubuhi tanggal dan ditandatangani oleh anggota yang turut bersidang. Dalam keputusan itu diterangkan juga banyaknya biaya perkara yang harus dibayar oleh yang berkepentingan dan lagi keterangan pendek tentang pengakuan tiap-tiap pihak serta saksi-saksi.

 

 

Pasal 8

 

(1) Yang berkepentingan diberi salinan keputusan lengkap, yang ditandatangani oleh Ketua Pengadilan Agama, kecuali apabila yang berkepentingan itu menurut Kepala Daerah di tempat kediamannya tidak dapat dicari.

(2) Apabila yang berkepentingan itu sebulan sesudah keputusan itu dijatuhkan tidak dapat dicari, maka keputusan itu diberitahukan, dengan jalan menempelkan salinan surat keputusan itu pada tempat Pengadilan Agama.

(3) Di bagian atas tiap-tiap salinan diterangkan, bahwa keputusan itu dapat diminta untuk dibanding buat sementara sampai ada ketentuan lain kepada Ketua Pengadilan Agama Propinsi.

(4) Ketentuan-ketentuan tersebut dalam Pasal 7b Peraturan tentang Peradilan Agama di Jawa Madura Staatsblad 1882 Nomor 152, setelah ditambah dan diubah oleh Staatsblad 1937 Nomor 116 dan Nomor 610, berlaku pula bagi perkara-perkara bandingan ini.

 

 

Pasal 9

 

Keputusan Pengadilan Agama dicatat dalam daftar, yang pada tiap-tiap tiga bulan dikirimkan kepada Kepala Daerah Propinsi tersebut dalam Pasal 8 ayat (3), supaya diperiksa serta ditandatangani. Selanjutnya salinan surat-keputusan itu harus pula dikirimkan pada tiap-tiap bulan kepada Biro Peradilan Agama di Jakarta.

 

 

Pasal 10

 

Apabila Pengadilan Agama melewati batas kekuasaannya atau bila Pasal 2, 6 dan 7 dari Peraturan ini tidak diturut, maka keputusannya tidak dapat dijalankan.

 

 

Pasal 11

 

(1) Apabila tidak ada ketentuan lain di Kotaraja diadakan Pengadilan Agama Propinsi yang wilayahnya meliputi seluruh Propinsi Aceh.

(2) Ketentuan-ketentuan tersebut dalam Pasal 7d sampai dengan 7m Peraturan tentang Peradilan Agama Islam di Jawa dan Madura, tersebut dalam Pasal 8 ayat (4) Peraturan ini, berlaku pula untuk Pengadilan Agama Propinsi Aceh.

 

 

Pasal 12

 

Peraturan ini mulai berlaku pada hari diundangkan.

Agar supaya setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

 

 

Ditetapkan di Jakarta

pada tanggal 6 Agustus 1957

 

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA.

 

(SUKARNO)

 

MENTERI AGAMA a.i.,

(SOENARYO)

Diundangkan

pada tanggal 10 Agustus 1957

 

MENTERI KEHAKIMAN,

 

(G. A. MAENGKOM)

 

 

 

 

 

TAMBAHAN LEMBARAN-NEGARA RI No. 1358.

PROPINSI ACEH PENGADILAN AGAMA. MAHKAMAH SYAR‘IYAH. Penjelasan Peraturan Pemerintah No. 29 tahun 1957, tentang menetapkan Peraturan tentang Pengadilan Agama di Propinsi Aceh.

 

 

PENJELASAN

ATAS

PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 29 TAHUN 1957

TENTANG

PEMBENTUKAN PENGADILAN AGAMA/MAHKAMAH

SYAR‘ IYAH DI PROPINSI ACEH

 

 

UMUM

Pada waktu sebelum perang dunia kedua, di masa penjajahan Belanda, berlaku di Aceh apa yang dinamakan "Inheemsche rechspraak." Di tiap-tiap wilayah Oeleubalang terdapat sebuah pengadilan yang diketuai oleh seorang controleur, dan Oeleubalang serta pejabat-pejabat tertentu menjadi Anggota. Pengadilan itu wewenang mengadili segala perkara, juga perkara-perkara di mana berlaku hukum Syariat Islam.

Di zaman Jepang Pengadilan-pengadilan itu dihapuskan dan diganti dengan Pengadilan Negeri. Hal semacam ini di daerah Aceh di mana pengaruh Agama Islam sangat mendalam, tidak memuaskan sama sekali; karena itu, sejak pecahnya Revolusi, pertama-tama yang diingini oleh rakyat Aceh, adalah pembentukan Mahkamah-mahkamah Syari‘yah (Pengadilan Agama).

Pada waktu Pemerintah Pusat pada tanggal 4 Januari 1946 berhijrah ke Yogyakarta, maka pada saat itu, gubernur Sumatera, sebagai Wakil Pemerintah Pusat, diberi kuasa penuh untuk menjalankan sesuatu bagi kepentingan Negara R.I., dan rakyatnya, menegakkan Pemerintah R.I. serta lancarnya jalan Pemerintahan.

Sebagai salah satu hasil Revolusi Kemerdekaan sesuai dengan hasrat masyarakat, maka di Aceh atas tuntutan rakyat pada tanggal 1 Agustus 1946 dibentuklah Mahkamah Syari‘iyah (Pengadilan Agama). Hal ini oleh Wakil Pemerintah Pusat di Pematang Siantar diakui syah, ternyata dari surat kawatnya tanggal 13 Januari 1947 No. 189 kepada Jawatan Agama Karesidenan Aceh di Kotaraja yang menyusun formasi pegawai Mahkamah Syari‘iyah (Pengadilan Agama) serta gajinya, disusul dengan surat kawat Wakil Kepala Jawatan Agama Propinsi Sumatera tanggal 22 Februari 1947 No. 226/3/Japs menetapkan hak kekuasaannya. Untuk menguatkan instruksi termaktub dalam surat kawat Kepala Jawatan Agama Propinsi Sumatera No. 896/3/Japs tentang hak kekuasaan Mahkamah Syari‘iyah itu, maka Badan Pekerja Dewan Perwakilan Rakyat Aceh dalam sidangnya tanggal 3 Desember 1947 dengan keputusan No. 35 telah menetapkan:

 

I. bahwa hak kekuasaan Mahkamah Syariyah (Pengadilan Agama) yaitu memutuskan:

a. perkara nikah, thalaq, rujuk dan nafkah.

b. pembagian pusaka.

c. mengurus harta waqaf, hibah, sodaqoh, dan

d. mengurus baitul-mal.

II. vonis-vonis yang bersangkutan ini dipandang serupa dengan kekuatan vonis Hakim Negeri.

III. buat sementara, menunggu ketentuan dari Propinsi, maka urusan faraidl harta pusaka ditetapkan terus menjadi hak Mahkamah Syar‘iyah (Pengadilan Agama) dan tidak lagi menjadi hak Hakim Rendah atau Hakim Negeri.

 

Mahkamah Syari‘iyah (Pengadilan Agama) semenjak terbentuknya hingga Penyerahan Kedaulatan Indonesia (tanggal 27 Desember 1949) berjalan dengan lancar. Formasi dan begronitingnya senantiasa dipenuhi oleh Pemerintah Darurat, begitu juga uang sidang dari anggota-anggotanya.

 

Akan tetapi alangkah malangnya nasib Mahkamah Syari‘iyah (Pengadilan Agama) setelah Penyerahan Kedaulatan. Semua pegawai Jawatan Agama R.I. dipusatkan di Kementerian Agama dan Mr. Syarifuddin Prawiranegara Perdana Menteri Pemerintah Darurat pada tanggal 6 Juli 1949 meninggalkan Aceh, sehingga biaya Mahkamah Syari‘iyah (Pengadilan Agama) tidak ada lagi yang mengaturnya dan statusnya terapung-apung oleh karena Pemerintah R.I. belum mendapat kesempatan membuat Undang-undangnya.

Pada tanggal 15 Agustus 1950 dengan berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Proklamasi tanggal 17 Agustus 1945, Propinsi Aceh dihapuskan dan dijadikan Karesidenan sebagai bahagian dari Propinsi Sumatera Utara.

Dengan demikian, di Aceh tidak ada Pengadilan Agama yang mempunyai dasar hukum yang kuat, seperti Majelis Agama Islam di Sumatera Timur (Keputusan Wali Negara N.S.T. tanggal 1-8-1940 No. 390/1950) atau Kerapatan Qadi di Kalimantan (Stbl. 1937 No. 638) atau Pengadilan Agama di Jawa dan Madura (Stbl. 1882 No. 152 yang telah ditambah dan diubah terakhir oleh Stbl. 1937 No. 116 dan 610) atau Pengadilan Agama yang dibentuk menurut pasal 12 Stbl. 1932 No. 80. Hal-hal semacam inilah yang menyebabkan suasana di Aceh bertambah hangat.

Pada tanggal 14 Januari 1951 berlakulah Undang-undang Darurat No. 1/1951 yang wujudnya, dalam pasal 1 membatalkan sekalian Pengadilan-pengadilan terkecuali Peradilan Agama jika Peradilan itu menurut hukum yang hidup merupakan satu bahagian tersendiri dari Peradilan Swapraja dan selanjutnya Pengadilan Agama itu akan diatur dengan peraturan Pemerintah.

Untuk memenuhi hasrat rakyat dan meredakan suasana serta seberapa dapat memenuhi keinginan-keinginan daerah, maka patutlah apabila di Propinsi Aceh didirikan Pengadilan Agama, yang sejak Proklamasi 1945 dinantinantikan. Peraturannya disesuaikan dengan peraturan yang berlaku di Jawa dan Madura yakni, Ordonansi termuat dalam Stbl. 1882 No. 152 yang telah berkali-kali dirubah dan yang terakhir dengan Stbl. 1937 No. 116 dan 610. Begitu pula perkara-perkara appel diserahkan pada Pengadilan Agama Propinsi.

 

PENJELASAN PASAL DEMI PASAL

Tidak dirasa perlu diberikan penjelasan pasal demi pasal karena sudah cukup jelas.